Sabtu, 16 Juni 2012

Yosephine Cristanti: Islam Mengajariku Berlaku Pamrih kepada Allah

Mulanya ia masuk Islam karena dihadapkan pada pilihan gambling. Kini, Yosephine Cristanti terus belajar menjadi Muslimah yang kaffah.

“Aku tidak mau main-main. Aku telah memilihnya, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku.”


                                                                          ***

Ditemui di sela waktu senggangnya bersama suami dan kedua putrinya di kawasan Depok beberapa waktu lalu, Yosephine terlihat anggun dengan terusan biru dipadu jilbab berwarna senada. Senyum pada wajah ramahnya seolah mewakili kebijaksanaan yang berhasil dipelajarinya dari sebuah perjalanan berharga menuju Islam. Dan ia terlihat bersemangat untuk membaginya pada Republika.

Benar saja. Hanya dengan sebuah pertanyaan singkat, cerita tentang rute panjang perjalanan spiritualnya segera mengalir dari mulut Yosephine. “Semua terasa seperti taruhan pada mulanya,” ujarnya mengawali cerita.

Perempuan yang lahir di Semarang pada 20 Mei 1976 ini dibesarkan di lingkungan Katolik. Ia juga belajar di sekolah-sekolah Katolik, sebelum akhirnya menjadi mahasiswa Biologi Kelautan di Universitas Diponegoro. Meski setelah lulus sempat menjadi tenaga honorer di sebuah dinas pemerintahan atas dorongan orang tuanya, perempuan berpendirian keras ini memutuskan mengejar mimpinya dengan caranya sendiri.

Ia keluar dari pekerjaannya, melepaskan mimpi kedua orang tuanya yang berharap dirinya menjadi pegawai negeri. Bungsu dari tiga bersaudara ini lalu menemukan iklan sebuah peluang kerja di sebuah surat kabar yang mendorongnya meninggalkan Semarang, menuju Ibukota. “Aku bahkan tak berpamitan pada orang tuaku karena khawatir tidak mendapat izin,” katanya.

Singkat kata, di Jakarta, Yosephine berkenalan dengan seorang pria Muslim yang kini menjadi suaminya. Perbedaan agam tidak memunculkan persoalan berarti hingga sang pria memperkenalkan Yosephine pada orang tuanya. Untuk menjadi menantu mereka, . “Aku harus masuk Islam maksimal setahun sebelum menikah.”

Tak pelak, Yosephine merasa berada di sebuah persimpangan. Ia diminta meninggalkan jalan yang telah dilaluinya selama puluhan tahun dan memilih jalan baru yang tak dipahaminya. “Rasanya seperti bertaruh, karena aku merasa keduanya tanpa jaminan,” katanya.

Memilih Islam, baginya, tentu tidak masalah jika nantinya itu sesuai dengan hatinya. Ditambah, pernikahannya pun belum menjadi rencana yang pasti kala itu. “Kalau aku masuk Islam lalu aku batal menikah, aku tidak mungkin kembali ke agama lamaku. Pilihanku adalah tanggung jawabku. Namun jika ternyata agama itu salah dan hatiku menolaknya, bagaimana aku akan mempertanggungjawabkannya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggiring Yosephine pada pencarian-pencarian kecil. Bertanya pada beberapa orang Muslim yang dikenalnya, ia justru kecewa. “Jawaban mereka rata-rata memojokkan Kristen, agama yang masih kupeluk waktu itu.” Keraguannya bertambah setiap melihat perilaku Muslim yang dinilainya tidak mencerminkan nilai-nilai terpuji.

Tanpa berbekal kemantapan hati yang cukup, Yosephine mencoba melihat agama sebagai cara manusia berhubungan dengan Tuhannya. “Aku menyiapkan diri dengan pertaruhan yang ada dan berkata pada diriku, ‘Oke, dengan berislam, aku hanya berganti cara. Aku tetap berdoa dan meminta pada Tuhan, dengan cara yang lain, lewat agama lain’.”
 Yosephine Cristanti: Islam Mengajariku Berlaku Pamrih kepada Allah (Bag 3)
Satu hari di tahun 2002, dengan memakai kerudung yang dipinjam dari seorang teman, Yosephine menuju sebuah masjid di kawasan Menteng (Jakarta Pusat) seorang diri. “Aku tak memberi tahu siapapun, termasuk calon suamiku.” Di sana, ia bersyahadat dan resmi menjadi seorang Muslimah.

Resmi menjadi seorang Muslimah, Yosephine tak segera merasa lega. Pasalnya, tak ada seorang pun yang membimbingnya setelah itu, termasuk dari calon suaminya. Labilnya keimanan Yosephine masih membuatnya enggan mentolerir penjelasan-penjelasan yang memojokkan agama lamanya.

Pada masa yang sama, Yosephine memikirkan cara menyampaikan kabar keislamannya pada kedua orang tuanya di Semarang. Merasa tak bernyali untuk menyampaikannya secara langsung, ia menulis surat berisi kabar bahwa dirinya telah menjadi seorang Muslim. Setelah cukup lama menunggu tanpa balasan apapun, Yosephine menghubungi ibunya. Dari ibunya, ia mendapat jawaban bahwa mereka belum menerima surat yang dikirimnya.

Belum berani berbicara langsung, Yosephine kembali menulis surat dengan isi yang sama. Ibunya tetap mengatakan hal yang sama, hingga Yosephine kembali menulis surat ketiganya. Setelah surat ketiga, barulah sang ibu memberitahunya bahwa ketiga suratnya telah sampai. “Ayahku yang syok memberikannya kepada seorang uskup agung di Semarang.”

Sang uskup menasihati sang ayah untuk tidak melawan keinginan Yosephine, dan tetap menyayanginya sebagaimana sebelum ia menjadi Muslim. “Dan benar, mereka tak mempersoalkan keislamanku saat aku pulang ke Semarang. Bahkan, ayahku lah yang membangunkanku untuk shalat Subuh,” katanya.

Hingga hari pernikahannya, Yosephine belum merasa sepenuhnya di pihak Islam. “Aku kerap meninggalkan shalat karena kesal karena perilaku Muslim dan penjelasan-penjelasan dari mereka yang memojokkan agama lamaku.”

Setelah menikah, Yosephine bersama beberapa tetangganya secara privat mengkaji Islam dari seorang ustaz. Sayangnya, Yosephine kesulitan menangkap setiap penjelasannya yang terlalu tinggi untuk mualaf sepertinya. Sedangkan di rumah, diskusi ataupun perdebatan dengan suaminya tak memberikan pencerahan sedikitpun.

Di tengah kebingungan, Yosephine menenangkan diri dan mengingat-ingat janjinya terhadap keputusan yang telah ia ambil. “Aku mencoba berdamai dengan keadaan dan menjalani tuntutan Islam sebagai tanggung jawabku atas pilihan yang kuambil,” ujarnya.

Hingga kemudian, masjid di komplek perumahan tempat ia tinggal mengundang seorang tokoh mualaf, Insan L. Mokoginta. Penjelasan mualaf yang juga kristolog itu menjawab semua pertanyaan Yosephine dan membuka pikirannya. “Aku bisa menerima semua penjelasannya karena berbasis Alquran dan Al-Kitab. Lalu aku memborong semua buku yang ditulisnya.”

Buku-buku Islam dan internet menjadi teman Yosephine setelah itu. Ia tak lagi berangkat ke tempat kerja dengan membonceng suaminya, melainkan menggunakan kereta api. “Aku punya 2 x 45 menit (waktu di dalam kereta) setiap hari. Sayang jika kulewatkan tanpa membaca apapun,” kata perempuan yang membuka usaha jasa servis komputer di wilayah Mangga Dua itu.

Allah mulai menguji keseriusan Yosephine dalam mencintai Islam melalui beberapa ujian. Salah satunya adalah ketika putri keduanya yang masih bayi menderita sakit demam berdarah akut dan harus diopname, dua tahun yang lalu. “Aku begitu kacau saat itu.”

Ia lalu teringat keberuntungan-keberutungan yang didapatnya sejak memeluk Islam, terutama restu orang tua yang memudahkan perjalanannya. “Aku merenung dan mengakhiri renungan itu dengan shalat malam. Aku meminta pada Allah satu keberuntungan lain; kesembuhan anakku.”

Kesembuhan sang buah hati membawanya pada perenungan yang lebih dalam. Yosephine mulai menyadari betapa keimanan mampu mendekatkannya pada ridha dan kasih sayang Allah. “Dari perenungan itu, aku memutuskan berjilbab,” ujarnya sambil menyeka air mata.

Berjilbab tak begitu saja membuatnya merasa telah kaffah menjadi seorang Muslimah. Selain mengurus bisnis dan keluarganya, Yosephine kini giat belajar membaca Alquran dan memperdalam keislamannya pada seorang ustaz. Di luar itu, ia tetap berteman dengan internet dan buku-buku Islam. (dari Republika Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar