Mulanya ia masuk Islam karena dihadapkan pada pilihan gambling. Kini,
Yosephine Cristanti terus belajar menjadi Muslimah yang kaffah.
“Aku tidak mau main-main. Aku telah memilihnya, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku.”
***
Ditemui
di sela waktu senggangnya bersama suami dan kedua putrinya di kawasan
Depok beberapa waktu lalu, Yosephine terlihat anggun dengan terusan biru
dipadu jilbab berwarna senada. Senyum pada wajah ramahnya seolah
mewakili kebijaksanaan yang berhasil dipelajarinya dari sebuah
perjalanan berharga menuju Islam. Dan ia terlihat bersemangat untuk
membaginya pada Republika.
Benar saja. Hanya dengan
sebuah pertanyaan singkat, cerita tentang rute panjang perjalanan
spiritualnya segera mengalir dari mulut Yosephine. “Semua terasa seperti
taruhan pada mulanya,” ujarnya mengawali cerita.
Perempuan yang
lahir di Semarang pada 20 Mei 1976 ini dibesarkan di lingkungan Katolik.
Ia juga belajar di sekolah-sekolah Katolik, sebelum akhirnya menjadi
mahasiswa Biologi Kelautan di Universitas Diponegoro. Meski setelah
lulus sempat menjadi tenaga honorer di sebuah dinas pemerintahan atas
dorongan orang tuanya, perempuan berpendirian keras ini memutuskan
mengejar mimpinya dengan caranya sendiri.
Ia keluar dari
pekerjaannya, melepaskan mimpi kedua orang tuanya yang berharap dirinya
menjadi pegawai negeri. Bungsu dari tiga bersaudara ini lalu menemukan
iklan sebuah peluang kerja di sebuah surat kabar yang mendorongnya
meninggalkan Semarang, menuju Ibukota. “Aku bahkan tak berpamitan pada
orang tuaku karena khawatir tidak mendapat izin,” katanya.
Singkat
kata, di Jakarta, Yosephine berkenalan dengan seorang pria Muslim yang
kini menjadi suaminya. Perbedaan agam tidak memunculkan persoalan
berarti hingga sang pria memperkenalkan Yosephine pada orang tuanya.
Untuk menjadi menantu mereka, . “Aku harus masuk Islam maksimal setahun
sebelum menikah.”
Tak pelak, Yosephine merasa berada di sebuah
persimpangan. Ia diminta meninggalkan jalan yang telah dilaluinya selama
puluhan tahun dan memilih jalan baru yang tak dipahaminya. “Rasanya
seperti bertaruh, karena aku merasa keduanya tanpa jaminan,” katanya.
Memilih
Islam, baginya, tentu tidak masalah jika nantinya itu sesuai dengan
hatinya. Ditambah, pernikahannya pun belum menjadi rencana yang pasti
kala itu. “Kalau aku masuk Islam lalu aku batal menikah, aku tidak
mungkin kembali ke agama lamaku. Pilihanku adalah tanggung jawabku.
Namun jika ternyata agama itu salah dan hatiku menolaknya, bagaimana aku
akan mempertanggungjawabkannya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu
menggiring Yosephine pada pencarian-pencarian kecil. Bertanya pada
beberapa orang Muslim yang dikenalnya, ia justru kecewa. “Jawaban mereka
rata-rata memojokkan Kristen, agama yang masih kupeluk waktu itu.”
Keraguannya bertambah setiap melihat perilaku Muslim yang dinilainya
tidak mencerminkan nilai-nilai terpuji.
Tanpa berbekal kemantapan
hati yang cukup, Yosephine mencoba melihat agama sebagai cara manusia
berhubungan dengan Tuhannya. “Aku menyiapkan diri dengan pertaruhan yang
ada dan berkata pada diriku, ‘Oke, dengan berislam, aku hanya berganti
cara. Aku tetap berdoa dan meminta pada Tuhan, dengan cara yang lain,
lewat agama lain’.”
Satu hari di tahun 2002, dengan memakai kerudung yang dipinjam dari
seorang teman, Yosephine menuju sebuah masjid di kawasan Menteng
(Jakarta Pusat) seorang diri. “Aku tak memberi tahu siapapun, termasuk
calon suamiku.” Di sana, ia bersyahadat dan resmi menjadi seorang
Muslimah.
Resmi menjadi seorang Muslimah, Yosephine tak segera
merasa lega. Pasalnya, tak ada seorang pun yang membimbingnya setelah
itu, termasuk dari calon suaminya. Labilnya keimanan Yosephine masih
membuatnya enggan mentolerir penjelasan-penjelasan yang memojokkan agama
lamanya.
Pada masa yang sama, Yosephine memikirkan cara
menyampaikan kabar keislamannya pada kedua orang tuanya di Semarang.
Merasa tak bernyali untuk menyampaikannya secara langsung, ia menulis
surat berisi kabar bahwa dirinya telah menjadi seorang Muslim. Setelah
cukup lama menunggu tanpa balasan apapun, Yosephine menghubungi ibunya.
Dari ibunya, ia mendapat jawaban bahwa mereka belum menerima surat yang
dikirimnya.
Belum berani berbicara langsung, Yosephine kembali
menulis surat dengan isi yang sama. Ibunya tetap mengatakan hal yang
sama, hingga Yosephine kembali menulis surat ketiganya. Setelah surat
ketiga, barulah sang ibu memberitahunya bahwa ketiga suratnya telah
sampai. “Ayahku yang syok memberikannya kepada seorang uskup agung di
Semarang.”
Sang uskup menasihati sang ayah untuk tidak melawan
keinginan Yosephine, dan tetap menyayanginya sebagaimana sebelum ia
menjadi Muslim. “Dan benar, mereka tak mempersoalkan keislamanku saat
aku pulang ke Semarang. Bahkan, ayahku lah yang membangunkanku untuk
shalat Subuh,” katanya.
Hingga hari pernikahannya, Yosephine
belum merasa sepenuhnya di pihak Islam. “Aku kerap meninggalkan shalat
karena kesal karena perilaku Muslim dan penjelasan-penjelasan dari
mereka yang memojokkan agama lamaku.”
Setelah menikah, Yosephine
bersama beberapa tetangganya secara privat mengkaji Islam dari seorang
ustaz. Sayangnya, Yosephine kesulitan menangkap setiap penjelasannya
yang terlalu tinggi untuk mualaf sepertinya. Sedangkan di rumah, diskusi
ataupun perdebatan dengan suaminya tak memberikan pencerahan
sedikitpun.
Di tengah kebingungan, Yosephine menenangkan diri dan
mengingat-ingat janjinya terhadap keputusan yang telah ia ambil. “Aku
mencoba berdamai dengan keadaan dan menjalani tuntutan Islam sebagai
tanggung jawabku atas pilihan yang kuambil,” ujarnya.
Hingga
kemudian, masjid di komplek perumahan tempat ia tinggal mengundang
seorang tokoh mualaf, Insan L. Mokoginta. Penjelasan mualaf yang juga
kristolog itu menjawab semua pertanyaan Yosephine dan membuka
pikirannya. “Aku bisa menerima semua penjelasannya karena berbasis
Alquran dan Al-Kitab. Lalu aku memborong semua buku yang ditulisnya.”
Buku-buku
Islam dan internet menjadi teman Yosephine setelah itu. Ia tak lagi
berangkat ke tempat kerja dengan membonceng suaminya, melainkan
menggunakan kereta api. “Aku punya 2 x 45 menit (waktu di dalam kereta)
setiap hari. Sayang jika kulewatkan tanpa membaca apapun,” kata
perempuan yang membuka usaha jasa servis komputer di wilayah Mangga Dua
itu.
Allah mulai menguji keseriusan Yosephine dalam mencintai Islam melalui
beberapa ujian. Salah satunya adalah ketika putri keduanya yang masih
bayi menderita sakit demam berdarah akut dan harus diopname, dua tahun
yang lalu. “Aku begitu kacau saat itu.”
Ia lalu teringat
keberuntungan-keberutungan yang didapatnya sejak memeluk Islam, terutama
restu orang tua yang memudahkan perjalanannya. “Aku merenung dan
mengakhiri renungan itu dengan shalat malam. Aku meminta pada Allah satu
keberuntungan lain; kesembuhan anakku.”
Kesembuhan sang buah
hati membawanya pada perenungan yang lebih dalam. Yosephine mulai
menyadari betapa keimanan mampu mendekatkannya pada ridha dan kasih
sayang Allah. “Dari perenungan itu, aku memutuskan berjilbab,” ujarnya
sambil menyeka air mata.
Berjilbab tak begitu saja membuatnya
merasa telah kaffah menjadi seorang Muslimah. Selain mengurus bisnis dan
keluarganya, Yosephine kini giat belajar membaca Alquran dan
memperdalam keislamannya pada seorang ustaz. Di luar itu, ia tetap
berteman dengan internet dan buku-buku Islam. (dari Republika Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar